Kearifan Lokal Suku Tana Toraja

Indonesia adalah negara dengan berbagai suku bangsa yang mendiaminya dari bagian barat hingga timur. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki pola kehidupan tersendiri. Pola kehidupan itu membuat Indonesia menjadi kaya akan keberagaman. Keberagaman itu termasuk identitas suku (aspek kesejarahan), sistem sosial, sistem kekerabatan, struktur kelembagaan, adat-istiadat dan kebudayaan serta sistem kepercayaan yang di anut suku tersebut.

Di Indonesia bagian barat, kita mengenal suku Melayu, suku Kubu, Batak, Mentawai yang memiliki kekhasan budaya. Menyeberangi bagian barat, kita menemukan suku Badui, Jawa, Dayak, dengan keanekaragaman kearifan lokal.

Di bagian Indonesia timur, kita memiliki suku Bima, Bugis, Papua, Tana Toraja yang masih memiliki keaslian budayanya. Dari sekian banyak suku bangsa yang ada di Indonesia, ada suku bangsa yang memiliki pola kehidupan yang unik. Yaitu pola kehidupan yang terdapat pada masyarakat suku Tana Toraja.

Masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). (DR. C. Cyrut,2001). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Orang Luwu menyebutnya triajang yang artinya “orang yang berdiam di sebelah  barat”. Dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal dengan Tana Toraja.

Suku Tana Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Seperti daerah-daerah yang lainnya di Indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan tentu saja tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Termasuk pola kehidupan yang tidak kalah menarik dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Tidak hanya peninggalan sejarah, namun juga peninggalan budaya suku Tana Toraja sebagai suku bangsa yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja yang masih terjaga kelestariannya sampai saat ini.

Terdapat pendapat yang mengklasifikasikan bentuk kearifan lokal ke dalam dua aspek. Bentuk kearifan lokal yaitu berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible) (Azan, 2013).

a.         Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal budaya Suku Tana Toraja yang berwujud nyata dari berbagai aspek meliputi, sebagai berikut :

1.      Bangunan/Arsitektural

a.       Rumah Adat “TONGKONAN”


Rumah adat Tongkonan adalah rumah adat Sulawesi Selatan yang mempunyai bentuk unik menyerupai wujud perahu dari kerajaan Cina pada jaman dahulu.
Tongkonan berasal dari kata “tongkon” yang berarti duduk. Rumah tongkonan sendiri difungsikan sebagai pusat pemerintahan (to ma’ parenta), kekuasaan, dan strata sosial pada elemen masyarakat toraja. Rumah adat Tongkonan tidak bisa dimiliki secara pribadi/perorangan karena rumah ini adalah warisan nenek moyang dari setiap anggota keluarga atau keturunan mereka.
Fungsi Tongkonan
Rumah Tongkonan bukan hanya sekedar berfungsi sebagai rumah adat. Dalam budaya mereka, masyarakat toraja menganggap rumah tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi) adalah bapaknya. Deretan tongkonan dan alang sura pun saling berhadapan karena dianggap sebagai pasangan suami istri. Alang menghadap ke selatan, sedangkan tongkonan menghadap ke utara.
Jenis Tongkonan
Rumah Tongkonan ada tiga jenis, yang pertama Tongkonan Layuk yaitu tempat kekuasaan tertinggi yang biasa dijadikan sebagai tempat pemerintahan. Kedua, Tongkonan Pekamberan yaitu adalah rumah milik anggota keluarga yang berwenang dalam adat dan tradisi lokal. Ketiga adalah Tongkonan Batu, yaitu sebuah rumah yang hanya dimiliki oleh orang biasa.
Ciri Khas Rumah Adat Tongkonan
Perlu diketahui bahwa arsitektur rumah adat Tongkonan selalu mengikuti model desa dimana rumah tongkonan tersebut dibangun. Akan tetapi, arsitektur tersebut tidak akan pernah lepas dari filosofi dan pakem-pakem tertentu yang diturunkan secara turun temurun. Filosofi dan pakem-pakem tersebut antara lain :
1.      Lapisan dan Bentuk
Rumah Tongkonan memiliki 3 lapisan berbentuk segi empat yang bermakna empat peristiwa hidup pada manusia yaitu, kelahiran, kehidupan, pemujaan dan kematian. Segi empat ini juga merupakan simbol dari empat penjuru mata angin. Setiap rumah tongkonan harus menghadap ke utara untuk melambangkan awal kehidupan, sedangkan pada bagian belakang yaitu selatan melambangkan akhir dari kehidupan.
2.      Struktur Bangunan
Rumah Adat Tongkonan Struktur bangunan mengikuti struktur makro-kosmos yang memiliki tiga lapisan banua (rumah) yakni bagian atas (rattiang banua), bagian tengah (kale banua) dan bawah (sulluk banua).
Bagian atas (rattiang banua) digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka yang mempunyai nilai sakral dan benda-benda yang dianggap berharga. Pada bagian atap rumah terbuat dari susunan bambu-bambu pilihan yang telah dibentuk sedemikian rupa kemudian disusun dan diikat oleh rotan dan ijuk. Atap bambu ini dapat bertahan hingga ratusan tahun.
Bagian tengah (kale banua) rumah tongkonan memiliki 3 bagian dengan fungsi yang berbeda. Pertama, Tengalok di bagian utara difungsikan sebagai ruang untuk anak-anak tidur dan ruang tamu. Namun terkadang, ruangan ini digunakan untuk menaruh sesaji. Kedua, Sali dibagian tengah. Ruangan ini biasa difungsikan sebagai tempat pertemuan keluarga, ruang makan, dapur dan tempat disemayamkannya orang mati. Dan ruangan terakhir adalah ruang sambung yang banyak digunakan oleh kepala keluarga.
Bagian bawah (sulluk banua) digunakan sebagai tempat hewan peliharaan dan tempat menaruh alat-alat pertanian. Pondasinya terbuat dari batu pilihan yang dipahat berbentuk persegi.
3.      Ukiran Dinding
Ukiran berwarna pada dinding Rumah Tongkonan selalu menggunakan 4 warna dasar yaitu hitam, merah, kuning dan putih. Bagi masyarakat Toraja, 4 warna itu memiliki arti dan makna tersendiri. Warna kuning melambangkan anugrah dan kekuasaan Tuhan (Puang Matua), warna hitam melambangkan kematian/duka, warna putih melambangkan tulang yang berarti kesucian dan warna merah melambangkan kehidupan manusia.
4.      Tanduk Kerbau
Rumah adat Tongkonan umumnya dilengkapi dengan hiasan tanduk kerbau. Hiasan ini tersusun menjulang pada tiang bagian depan. Hiasan tanduk kerbau tersebut secara filosofi adalah perlambang kemewahan dan strata sosial. Semakin banyak tanduk yang tersusun pada rumah ada tongkonan, maka semakin tinggi strata sosial kelompok adat yang memilikinya.
 
b.      Kuburan Unik Khas Tana Toraja
Keunikan lain Tana Toraja adalah budayanya yang begitu kental dan masih bertahan hingga sekarang, khususnya dalam hal ritual kematian dan penguburan orang yang telah meninggal dunia. Berikut ini jenis Kuburan Yang ada Di Toraja, diantaranya :

1.        Kuburan Batu "Liang"


Kuburan Batu atau lasim dikenal dengan nama Liang dalam masyarakat Toraja merupakan kuburan yang membutuhkan keahlian khusus untuk membuatnya. Keahlian memahat batu, disinilah akan melihat jiwa seni dari pemahat-pemahat batu di Toraja. Sebuah batu yang sangat besar akan dipahat  dan dibuat lubang-lubang untuk menyimpan jenazah. 

Proses yang cukup lama sampai berbulan-bulan untuk membuat sebuah lubang yang berukuran tidak terlalu besar biasanya berukuran sekitar 2X3 meter sampai ukuran yang panjangnya 4 meter. Disamping waktu pembuatan yang lama biaya untuk membayar sipemahat sampai puluhan juta rupiah tergantung dari besar ukuran lobang yang dibuat. Kuburan Jenis ini sangat banyak di jumpai di Toraja, seperti di Kete Kesu, Londa, Lemo.

2.        Kuburan Pohon "Passiliran" Baby Grave


Kuburan ini dikenal juga dengan nama Passilliran Kuburan, kuburan ini untuk menguburkan bayi yang meninggal saat berusia dibawah 6 bulan, maka akan dimakamkan pada sebuah pohon besar yang bernama Pohon Tarra dengan maksud bayi tersebut dapat meminum getah pohon sebagai ganti ASI. Kuburan ini dibuat dengan cara membuat lubang pada sebuah pohon yang berukuran besar, kemudian memasukkan jenazah yang akan dkubur dan menutup kembali pohon dengan ijuk dari pohon aren. Jenis Kuburan ini dapat di Temukan di Kambira, Kecamatan Sangalla. Makam Bayi Kambira ini dikelilingi oleh pohon-pohon bambu.

3.        Kuburan Gantung


Kuburan ini agak aneh jika di dengar secarah sepintas. Namun ini ada di Tana Toraja. Kuburan gantung adalah penguburan dengan cara memasukkan jenazah kedalam erong (peti khas orang Toraja) kemudian digantungkan di tebing-tebing batu. Ada sebuah kuburan gantung yang di temukan di negara cina yang hampir sama dengan yang ada di Toraja namun hingga saat ini belum jelas penyebab kesamaan ini. Kuburan gantung biasanya selalu berdampingan dengan kuburan goa jadi cukup sekali jalan untuk melihat dua jenis kuburan ini, Londa, Kete Kesu dan Tampangallo bisa menjadi pilihan yang tepat untuk dikunjungi.

4.        Kuburan Patane


Kuburan Patane merupakan kuburan yang paling umum di Toraja sehinga dapat di jumpai dimana-mana. kuburan ini memiliki macam-macam model mulai dari bentuk rumah, bentuk tongkonan, atau yang berbentuk seperti peti besar. Yang perlu diketahui bahwa model dan biaya pembuatan dari kuburan ini sangat beragam ada yang sampai menghabiskan biaya hingga miliaran rupiah karena kemewahannya.

5.        Kuburan Goa


Kuburan Goa merupakan salah satu kuburan yang paling unik di Tana Toraja. Pasalnya mayat-maya di tempatkan di dalam Goa-goa. Tradisi ini belum diketahui apa landasannya, namun hingga kini masih tetap dilakukan oleh masyarakat Toraja. Kuburan jenis ini banyak di jumpai di toraja seperti di Londa, Tampang Allo Sangalla.

Upacara Adat Tana Toraja
a.       Rambu Tuka (Upacara Pengucapan Syukur)

Upacara adat Rambu Tuka’ adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran bisalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’. Biasanya disertai dengan mengorbankan ayam, babi atau kerbau untuk menunjukan rasa syukur kepada Tuhan

Sebagai bagian dari upacara, tari Manimbong akan dibawakan oleh laki-laki yang memakai pakaian tradisional khusus yang disebut “Baju Pokko” dan “Seppa Tallu Buku”, yang dihiasi dengan parang kuno. Untuk seni musik yaitu Pa’pompang, pa’Barrung, Pa’pelle’. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ tidak boleh, tabu ditampilkan pada upacara Rambu Tuka’.

b.  Rambu Solo (Upacara Pemakaman)

“Rambu Solo” merupakan upacara pemakaman terbesar di Tana Toraja yang diadakan oleh keluarga duka. Keluarga harus mempersembahkan banyak kerbau besar, babi, dan binatang lain pada upacara ini, tergantung pada status sosial dari keluarga duka.

Dipengaruhi oleh kepercayaan setempat, yaitu “Aluk Todolo”, orang Toraja percaya bahwa hal buruk mungkin terjadi jika keluarga yang ditinggalkan tidak mengadakan upacara, tetapi saat ini banyak keluarga melakukan Rambu Solo ini sebagai bagian dari tradisi mereka.

Upacara Rambu Solo terdiri dari beberapa jenis, yaitu “Disilli”, yaitu upacara pemakaman untuk anak-anak atau balita dengan mengorbankan satu ekor babi saja; “Dipasangbongi”, yaitu upacara pemakaman untuk remaja dan orang dewasa dari kelas terendah, yang biasanya berlangsung semalman dengan mengorbankan satu kerbau dan empat babi; “Dipatallung Bongi”, yaitu upacara pemakaman untuk kelas menengah yang dilakukan selama tiga malam dengan mengorbankan empat kerbau dan banyak babi; “Dipapitung Bongi”, yaitu upacara pemakaman selama tujuh hari untuk kelas paling tinggi dengan mengorbankan banyak kerbau dan babi; dan “Dirapai”, yaitu upacara pemakaman termewah untuk kelas sosial paling tinggi yang berlangsung selama lebih dari satu tahun dan membutuhkan sekitar 24 kerbau dan ratusan babi besar untuk dikorbankan.

c.  Ma’pasilaga Tedong

Ini adalah adu kerbau air atau dikenal sebagai "Ma'pasilaga Tedong". Adu kerbau adalah salah satu bagian hiburan pada upacara pemakaman. Adu kerbau di Toraja ini hanya dilakukan oleh dua ekor kerbau saja.

d. Sisemba

Ini adalah sebuah "pertunjukkan" dari sekelompok laki-laki atau anak laki-laki yang mencoba memukul atau menendang kaki lawan hanya dengan menggunakan kaki mereka, sehingga terlihat seperti sedang berperang. "Perkelahian" ini dianggap sebagai sebuah permainan yang adil, karena tidak pernah "menyerang" seseorang yang berada di tanah sambil mengangkat tangannya.

Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan budaya semacam ini, ini dapat dilihat sebagai pertandingan keras. Sama seperti beberapa orang yang tidak suka tinju atau permainan kasar lain karena alasan yang sama. Namun, pertunjukkan tradisional ini menjadi hal yang langka untuk dilihat saat ini.

e.       Upacara Penggantian Baju Jenazah "Ma’nene"

Di  Toraja ada sebuah ritual atau kebiasaan dalam prosesi pemakaman cukup unik dan mungkin terasa menyeramkan. Mayat yang telah disemayamkan bertahun-tahun di sebuah tebing tinggi, kuburan batu, atau kuburan patani akan diupacarakan kembali dengan menganti semua pakaian dan mendandani layaknya orang yang hidup. Saat ini acara ma’nene yang bisa kita lihat ditoraja bukan lagi mayat berjalan seperti yang terjadi pada jaman dulu tetapi saat ini hanya sebatas menganti baju jenazah/mummi kemudian mengerakkan mayat tersebut layaknya orang berjalan . 
f.  Ma’tinggoro Tedong / Pembantaian Kerbau

Sebuah tradisi di mana seorang pria menebas leher kerbau yang sudah ditambatkan pada sebuah batu besar dengan golok tajam. Ini adalah prosesi akhir dari ritual “Rambu Solo”Untuk sebagian orang, prosesi ini dapat dilihat sebagai suatu tindakan kejam, namun untuk sebagian orang lagi mungkin saja mereka melihatnya dari perspektif yang berbeda, seperti dari sudut pandang budaya dan sebagainya.
                
Sistem Mata Pencaharian Hidup Suku Tana Toraja

Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang suku Toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

Mata Pencaharian
Para perajin parang tersebar di berbagai wilayah Toraja. Namun kalau Anda ingin melihat proses pembuatannya, maka datanglah pada hari pasaran (6 hari sekali) yang digelar di Rantepao. Hari pasaran ini merupakan pasar terluas di Toraja, dengan keistimewaan perdagangan kerbau dan babi yang sangat besar.
Tanah lapang luas yang menampung kerbau dengan para penjualnya bersisian dengan kios-kios para perajin parang. Sistem pembuatan parang tradisional yang cukup cepat pengerjaannya bisa disaksikan di sini. Anda juga bisa menemukan perajin parade di Desa La’ Bo’, Kelurahan Sangga Lange (terusan arah Kete’ Kesu), yang selain bertani, mereka juga membuat parang dan dengan senang hati mereka akan memperlihatkan cara pembuatannya.

Tarian Tradisional Tana Toraja

1.      Tarian Burake
Tarian ini berasal dari bagian Barat Tana Toraja yaitu Kecamatan Bonggakaradeng. Tarian ini merupakan tarian pemujaan kepada Puang Marua can Deata (Aluk Todolo).
Ditarikan oleh gadis-gadis bangsawan dengan iringan musik yaitu suling lembang, musik gesek yaitu geso'-geso', gendang tangan yang kecil yaitu Kamaru (Garapung) dan gendang besar yaitu Gandang Boro. Tarian ini diantar dengan sebuah lagu berjudul : Kamma'-kamma'ku To Lino (Lagu khusus pemujaan).
Pakaian yang digunakan sangat spesifik yaitu Bayu Nene' Barandilau, Basserarang, Dodo orang. Perhiasannya terdiri dari Sa'pi' Ulu, Tida-tida, Ponto Kati, Sassang, Rara' dan Orang-orang serta hiasan khas yaitu Kanuku Deata (kuku dewa-dewi). Untuk kaum lelaki menggunakan Seppa' Todolo/Seppa' Tallubuku, Bayu Pokko' Muane, Sambu', Talingka' sapu', La'bo Pinai, semuanya adalah bagian dari tradisional lelaki ditambah hiasan dari manik-manik.
2.      Tarian Dau Bulan
Sama dengan tarian Burake, namun tarian ini adalah Tari kreasi baru yang diciptakan oleh keluarga Tonglo dan berasal dari Kecamatan Bonggakaradeng. Tarian ini dipergelarkan sebagai tarian pengucapan syukur kepada Puang Matua atas berkatnya terutama keberhasilan panen.
Pakaian dan perhiasan yang dikenakan oleh para penari hampir sama dengan tarian Burake namun lebih sederhana. Alat musik pengiring dahulu kala digunakan lesung panjang namun pada saat sekarang ini telah diganti dengan gendang.
Juga tarian ini memiliki lagu khusus yang dikenal dengan judul Dao Bulan Da'mu mallun len, yang berarti permohonan kepada sang Pencipta agar berkatNya senantiasa dilimpahkan pada umat manusia sama seperti terangnya bulan yang senantiasa bersinar.
3.      Tarian Ma'badong
Penari membuat lingkaran yang saling mengkaitkan jari-jari kelingking. Penari bisa pria juga bisa wanita setengah baya atau tua. Biasanya mereka berpakaian serba hitam namun terkadang berpakaian bebas karena tarian ini terbuka untuk umum.
Tarian ini hanya diadakan pada upacara kematian, bergerak dengan gerakan langkah yang silih berganti sambil melantunkan lagu (Kadong Badong) yang syairnya berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati dan do'a, agar arwah si mati diterima di negeri arwah (Puya) atau alam dialam baka.
Tarian Badong ini biasanya berlangsung berjam-jam, sering juga berlangsung semalam suntuk. Perlu diketahui bahwa hanya pada upacara pemakaman yang lamanya tiga hari/malam ke atas yang boleh dilaksanakan tarian Badong ini atau khusus bagi kaum bangsawan.
4.      Tarian Ma'dandan
Tarian ini berintikan pemujaan dan doa-doa yang disampaikan kepada Puang Matua dan Deata (dalam Aluk Todolo) pada syukuran panen atau pun tahbisan rumah adat. Ditarikan oleh sekelompok orang wanita.
Pakaian dan perhiasannya serta peralatan yang digunakan cukup sederhana, yaitu pakaian / baju Toraja/Bayu Bussuksiku dan memakai hiasan kepala (sa'pi') yang menyerupai segitiga bagian rumah di bawah atap (lindo para).
Peralatan mereka adalah tongkat dan kaleng kecil yang diisi kerikil kecil sehingga berbunyi gemerincing apabila diketukkan pada tongkat. Mereka bergerak dengan lemah gemulai menggoyangkan tongkat dan diiringi irama nyanyian khusus untuk Ma'dandan.
5.      Tarian Ma'katia
Tarian duka untuk menyambut keluarga dan kerabat yang menghadiri upacara pemakaman seorang bangsawan. Penari berpakaian adat Toraja secara seragam dengan memakai sa'pi'. Dengan gerak gemulai diiringi lantunan lagu duka untuk menyatakan bahwa mereka juga turut berbagi duka dan dapat menghibur keluarga yang berduka. Tarian dimainkan saat rombongan keluarga ataukerabat (totongkon), memasuki arena penerimaan tamu (lantang Karampoan).
6.      Tarian Manganda'
Tarian ini dipentaskan oleh kaum pria yang mempergunakan tanduk kerbau dan hiasan uang-uang logam kuno (oang), sebagai hiasan kepala ditambah dengan kain mawa' tua terjumbai ke belakang. Para penari menggunakan juga lonceng/bel kecil yang selalu dideringkan pada saat menari dan bunyinya sangat merdu dan ritmik.
Gerakan tarinya sering dibarengi lengking teriakan yang mengejutkan penonton. Tarian Manganda' adalah tarian pemujaan yang dipentaskan pada upacara Merok atau Ma'Bua'.
7.      Tarian Manimbong
Tarian Manimbong juga merupakan tarian pemujaan dan doa pada upacara syukuran. Perbedaannya ialah tarian ini hanya ditarikan oleh kaum pria. Pakaian, hiasan dan perlengkapan mereka terdiri dari pakaian khusus untuk pria yaitu Bayu Pokko' dan Seppa Tallu Buku dan berselempangkan kain tua/antik yakni Mawa' serta mengenakan hiasan kepala yang terbuat dari bulu burung bawan atau bulu ayam yang cantik.
Perlengkapan mereka yaitu parang kuno (la'bo' pinai) dan sejenis tameng bundar kecil yang bermotif ukiran Toraja. Gerakan mereka juga diiringi dengan syair lagu khusus.
Tarian Manimbong sering dikombinasikan dengan Tarian Ma'dandan dengan gerakan yang diiringi oleh irama yang sama, walaupun tempat penari pria dan wanita saling bertukaran tempat ke depan dan ke belakang, berdiri dan berlutut, dengan diiringi sentakan gerakan-gerakan kaki.
8.      Tarian Memanna
Tarian ini khusus ditarikan pada upacara penguburan orang mati karena terbunuh. Penarinya terdiri dari lelaki yang menyeramkan dengan pakain compang-camping dari tikar robek, ikat kepala dari rumput padang-padang, senjatanya dibuat dari bambu, perisainya terbuat dari pelepah pinang atau kulit batang pisang. Tarian ini sangat jarang ditemukan karena jarang terjadi pembunuhan. Dengan syair-syair penari yang sedih dan menakutkan bergerak mundur majus ambil mengutuk si pembunuh yang kejam.
9.      Tarian Pa'Bondesan
Pa'bondesan merupakan tarian pemujaan di mana penarinya kaum lelaki. Para penari bertelanjang dada dan hanya mengenakan semacam selendang yang diselempangkan dari bahu ke pinggang secara diagonal. Mereka juga mengenakan kuku palsu yang disebut kuku setan kanuku bombo, dan hiasan kepala yang khas seperti bando dihiasi dengan bambu kesil penuh guntingan-guntingan kertas disebut Pangarru'.
Gerakan dalam tarian ini, senantiasa berputar di tempatnya mengikuti irama suling yang ditiup oleh empat orang pemain suling (tidak ikut menari). Alunan suling tersebut sangat menarik dan menyentuh perasaan.
10.  Tarian Ma'Gellu'
Gellu' Pangala' adalah salah satu tarian tradisional dari Tana Toraja yang dipentaskan pada acara pesta "Rambu Tuka" juga tarian ini ditampilkan untuk menyambut para patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan. Tetapi tarian ini tabu atau pamali dipentaskan pada acara "Rambu Solo".
11.  Tarian Pa'pangngan
Tarian ini dipentaskan oleh gadis-gadis cantik berpakaian Toraja secara lengkap yang warnanya agak hitam atau agak kegelapan. Gerakan mereka diiringi oleh alunan bunyi suling lembang dan alunan lagu duka (pa'marakka'). Gerakan penari merupakan ucapan selamat datang dan penyuguhan sekapur sirih (Pangngan) dan diakhiri dengan ucapan terima kasih dan pernyataan pamit.
12.  Tarian Pa'randing
Tarian ini khusus untuk menghormati para pahlawan perang yang akan pergi berperang atau baru tiba dari medan perang. Penarinya terdiri dari 2 atau 3 bahkan lebih dan hanya ditarikan oleh laki-laki dan biasanya berasal dari rumpun keluarga yang sama. Perlengkapan dan hiasan yang dikenakan adalah :
·         Balulang: yaitu perisai yang dibuat dari kulit kerbau yang sudah diawetkan dan sangat kuat. Merupakan simbol kekayaan karena hanya orang-orang mulia dan kaya mampu kerbau mereka sendiri.
·         Doke, Tombak, La'bo' Todolo (Parang antik), Tanduk: tiruan tanduk kerbau yang terbuat dari kuningan. Menunjukkan kesiapan untuk memerangi datangnya dan, dengan demikian, mereka melambangkan keberanian.
·         Tora: taring binatang buas yang pernah dibunuh oleh leluhur penari.
·         Usuk Tau: tulang rusuk manusia yang dipakai sebagai kalung.
·         Pempaya': rambut binatang liar yang melambangkan sebagai pemburu yang berani.
·         Pangngarru': tongkat yang terbuat dari tangkai enau sebagai kompas.
·         Bayu dan seppa tallu buku: celana tradisional laki-laki Toraja.

2.      Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni)

a.    Ukiran Toraja

Ukiran Toraja bukan hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja untuk menghiasi suatu bentuk atau benda ataupun Tongkonan tetapi seluruh macam ukiran itu lahir dari pengertian masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat, makanya seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam.

Menurut sejarah ukiran pada mulanya hanya dikenal 4 (empat) bentuk dasar gambar (lambang) yaitu lambang dari 4 (empat) pokok kehidupan manusia, dan kemudiaan diaplikasikan pada Rumah Tongkonan dengan maksud akan tetap menjadi perhatian dan selalu diingat oleh masyarakat.

Sampai saat ini dalam masyarakat Toraja dikenal 4 golongan Passura’ berdasarkan peranan dan arti Passura’ (ukiran), yaitu :

1.  Garonto’ Passura’ (Pokok-pokok ukiran) adalah mempunyai peranan simbol dasar kehidupan orang Toraja, yaitu : Pa’ Barre’ Allo, Pa’ Manuk Londong, Pa’ Tedong dan Pa’ Sussu’

2.     Passura’ Todolo (Ukiran Tua) adalah ukiran yang menyangkut peralatan upacara yang dianggap berkasiat bagi pemakainya, yaitu : Pa’ Erong, Pa’ Ulu Karua, Pa’ Doti Langi’, Pa’ Kadang Pao, Pa’ Barana’, Pa’ Bai, Pa’ Lolo Tabang, Pa’ Daun Bolu, Pa’ Daun Paria, Pa’ Bombo Wai, Pa’ Kapu’ Baka, Pa’ Tangke Lumu’, Pa’ Bungkang Tasik, Pa’ Lolo Paku, Pa’ Tangki’ Pattung, Pa’ Bulintong, Pa’ Katik, Pa’ Talinga Tedong, dan lain-lain.

3.   Passura’ Malolle’ (Ukiran kemajuan dan perkembangan), yaitu ukiran yang banyak dipakai mengukir bangunan yang tidak mempunyai peranan adat (Tongkonan Batu A’riri). Ukiran ini digunakan sebagai simbol sikap dan tingkah laku sosial atau pergaulan dengan dibatasi oleh pranata etika dan moral. Adakalanya ukiran ini ada pertalian arti dan maknanya dengan ukiran Passura’ Todolo, yaitu : Pa’ Sala’bi’, Pa’ Tanduk Ra’pe, Pa’ Tukku Pare, Pa’ Bunga Kaliki, Pa’ Poya Munda, Pa’ Bulintong Siteba’, Pa’ Bulintong Situru’, Pa’ Karrang Longa, Pa’ Papan Kandaure, Pa’ Passulan, Pa’ Sepu’ Torongkong, dan lain-lain.

4.     Ukiran Pa’ Barrean (ukiran kesenangan) merupakan ukiran yang terdiri atas  potongan-potongan yang sama bentuknya ada yang lurus dan adapula yang yang berupa lengkung, yaitu : Pa’ Bannangan, Pa’ Barra’-barra’, Pa Manik Bu’ku’, Pa’ Ara’ Dena’, Pa’ Komba Kalua’, Pa’ Bua Kapa’, Pa’ Gayang, dan lain-lain.

b.    Alat Musik

Di samping seni tari dan seni suara serta pantun juga diperkenalkan seni musik tradisional Toraja antara lain :

·         Passuling

Semua lagu-lagu hiburan duka dapat diikuti dengan suling tradisional Toraja (Suling Lembang). Passuling ini dimainkan oleh laki-laki untuk mengiringi lantunan lagu duka (Pa'marakka) dalam menyambut keluarga atau kerabat yang menyatakan dukacitanya. Passuling ini dapat juga dimainkan di luar acara kedukaan, bahkan  boleh dimainkan untuk menghibur diri dalam keluarga di pedesaan sambil menunggu padi menguning.

·         Pa'pelle'/Pa'barrung

Musik digemari oleh anak-anak gembala menjelang menguningnya padi di sawah. Alat musiknya terbuat dari batang padi dan disambung sehingga mirip terompet dengan daun enau yang besar. Pa'barrung ini merupakan musik khusus  pada upacara pentahbisan rumah adat (Tongkonan) seperti Ma'bua', Merok, Mangara dan sejenisnya.

·         Pa'pombang/Pa'bas

Inilah musik bambu yang pagelarannya merupakan satu simponi orkestra. Dimainkan oleh banyak orang biasanya murid-murid sekolah di bawah pimpinan seorang dirigen. Musik bambu jenis ini sering diperlombakan pada perayaan  bersejarah seperti hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, Peringatan Hari Jadi Tana Toraja. Lagu yang dimainkan bisa lagu-lagu nasional, lagu-lagu daerah Tana Toraja, lagu-lagu gerejawi, dan lagu-lagu daerah di seluruh Indonesia.

·         Pa'karobbi

Alat kecil dengan benang halus diletakkan pada bibir. Benang atau bibir disentak-sentak sehingga menimbulkan bunyi yang berirama halus namun mengasyikkan.

·         Pa'tulali'

Bambu kecil yang halus, dimainkan sehingga menimbulkan bunyi/suara yang lumayan untuk menjadi hiburan.

·         Pa'geso'geso'

Sejenis alat musik gesek. Terbuat dari kayu dan tempurung kelapa yang diberi dawai. Dawai yang digesek dengan alat khusus yang terbuat dari bilah bambu dan tali akan menimbulkan suara khas. Alat ini mengeluarkan nada sesuai dengan tekanan jari si pemain pada dawai. Pa'geso'-geso' terkenal dari Kecamatan Saluputti.

c.    Tenun Toraja

Kain Tenun Toraja merupakan salah satu warisan leluhur yang masih di jaga kelestariannya sampai saat ini. Kain tenun Toraja memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam budaya masyarakat Toraja. Kain tenun memegang peranan penting dalam berbagai upacara adat, juga berfungsi sebagai simbol kemakmuran dan kejayaan. Di masa lampau hanya orang-orang tertentu saja yang mampu memiliki kain-kain tersebut misalnya kaum bangsawan atau masyarakat ekonomi mampu.
b.        Tidak Berwujud (Intangible)

Bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud paa masyarakat Tana Toraja salah satunya dapat dilihat pada suatu pelaksanaan tarian tradisional Tana Toraja, yaitu Pangngan Ma’ adalah menari saat menerima tamu-tamu terhormat yang menyambut dengan kata-kata:

Tanda mo Pangngan mali'ki
Kisorong sorong mati'
Solonna pengkaboro'ki'
Rittingayona mala'bi'ta'
Inde'mo Sorongan sepu'
Rande pela'i toda
Mala'bi tanda Kiala'
Ki po Rannu matoto'

Kata-kata dan adanya penawaran sirih menunjukkan nilai ditempatkan pada kunjungan dan menegaskan bahwa para tamu telah diterima dan sekarang dianggap sebagai bagian dari masyarakat Toraja. 
Terdapat juga mitos yang hidup di kalangan Suku Toraja adalah bila halnya seseorang telah meninggal dunia maka pada akhirnya ia akan menuju ke suatu tempat yang biasa disebut oleh Suku Toraja dengan nama Puyo atau dunia arwah. Puyo dianggap sebagai sebuah tempat dimana seluruh roh berada. Letaknya secara spesifik berada pada bagian selatan tempat tinggal orang tesebut. Namun dalam kepercayaan masyarakat yang menganut ajaran Aluk To Dolo tidak semua roh yang telah berpulang akan dengan sendirinya langsung menuju dan berkumpul di puyo. Dalam prosesnya menuju kesana, perlu didahului dengan rangkaian upacara pengubburan sesuai dengan status sosial orang yang bersangkutan semasa hidupnya. Bila halnya sang mendiang tidak diupacarakan sesuai dengan bagaimana seharusnya maka masyarakat Toraja akan meyakini bahwa yang bersangkutan tidak akan sampai di puyo dan jiwanya akan tersesat.
Agar jiwa orang yang telah meninggal itu sampai pada tujuan yang dikehendaki keluarganya dan tidak tersesat maka upacara yang dilakukan dan diselenggarakan harus sesuai dengan aluk dan mengingat pamali (norma-norma tidak tertulis) yang berlaku pada masyarakat Suku Toraja. Prosesi pada fase ini biasa disebut sebagai sangka atau darma, yang mana memiliki makna mengikuti aturan yang sebenarnya dengan baik dan benar. Jika ada suatu hal yang salah dalam pelaksanaannya atau masyarakat Suku Toraja biasa menyebutnya dengan aluk (tomma liong-liong), maka jiwa orang yang sudah berpulang itu akan tersendat dan justru menuju ke siruga atau surga, menurut seorang pemuka adat di tana Toraja bernama Tato Denna’ yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk To Dolo mendapat gelar sebutan Ne’Sando.

Sepanjang orang yang telah meninggal dunia itu belum diupacarakan maka selama fase periode itu pula lah arwahnya akan berada dalam wujud keadaan setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini biasa mereka sebut sebagai tomebali puang. Menurut kepercayaan masyarakat Suku Toraja selama arwah tesebut belum dilakukan prosesi upacara pemakaman yang memang sudah turun-temurun dilakukan maka arwah ini akan dianggap tetap ada dalam lingkungan rumah tongkonan (rumah tradisional toraja) dan dianggap tetap memperhatikan aktifitas yang terjadi di dalam rumah itu dan dipercaya arwah ini akan memperhatikan bagaimana kehidupan para keturunannya.


Karena kepercayaan inilah maka upacara kematian menjadi sebuah prosesi penting yang sakral dan wajib hukumnya untuk dilakukan oleh siapapun yang merasa bahwa dirinya merupakan berasal dari Suku Toraja. Upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sebisa mungkin harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan secara turun-temurun dari nenek moyang Suku Toraja. 

Komentar

  1. Sdikit info, klw orang toraja kebanyakan menganut agama kristen bkan islam. Tma ksih..

    BalasHapus
  2. dampak negatif dari kearifan lokal tsb apa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Modernisasi?

UAS Pengantar Teknologi Informasi